You are currently viewing My Workplace by Muhamad Heyckel

My Workplace by Muhamad Heyckel

“Kita outing ke Thailand”, ujar pak bos yang langsung disambut dengan riuh oleh anak-anak Ceritera. Hal baik tentu datang dari hal yang baik pula. Tahun 2017 menjadi tahun yang “gembur” untuk Ceritera sehingga kantor ini bisa memberikan “kabar baik” sebagai bentuk apresiasi kerja keras anak-anaknya selama setahun. Sepersekian detik kemudian, semuanya hanyut dalam rencananya masing-masing, mulai dari mau belanja apa, bawa “amunisi” berapa banyak, sampai mau memakai baju apa di sana.

Apa yang menarik dari sebuah cerita “manca krida” sebuah kantor?
Tujuannya?
Durasinya?
Atau malah maskapai penerbangannya?
Bukan. Buat kami, apa yang menarik adalah persiapan, cerita, pelajaran, dan kebersamaannya.

Ibarat lari estafet yang memiliki tahap untuk mencapai garis akhir, kami memulai garis start dengan membuat passport bersama untuk sebagian teman-teman yang habis masa berlaku pasport-nya atau belum pernah membuatnya sama sekali. Banyak cerita pada proses ini. Ada yang lancar antre langsung dapat, ada yang tersendat karena dokumen kurang lengkap, dan ada pula yang baru berhasil mendapatkannya pada saat-saat terakhir. Wih, ikut lega saat semua akhirnya memegang passport-nya masing-masing. Semuanya ikut membantu dengan menyemangati dan mendoakan untuk teman-teman yang mengalami kesulitan saat proses ini. Yep, kembali ke atas lagi, the power of “kebersamaan”.

Entah, saya merasa terlalu “enak” pada proses estafet ini. Semuanya disiapkan dengan baik dan cermat oleh panitia yang “hanya” berjumlah 3 orang. Untuk mempersiapkan hal ini butuh mereka yang telaten, sabar, dan tentu saja ikhlas dalam pengerjaannya. Makanya hasilnya sangat memuaskan!

Setibanya di airport Don Mueang, kami disambut oleh seorang pria lokal periang yang membuat kami terkejut karena fasih berbahasa Indonesia. Pria yang bernama Watcharin Mirasing itu adalah tour guide kami yang akan menemani perjalanan kami selama 4 hari 3 malam ke depan. Satu hal yang kami pelajari dari dia adalah jam terbang tinggi akan mengasah kita menuju kesempurnaan. Hari-hari kami diisi dengan cerita-ceritanya yang seru dan candaannya yang selalu sukses membuat seisi bus tertawa. Tak hanya itu, Delon (panggilan yang kemudian lekat dengannya karena saat kuliah di Universitas Udayana dia dibilang mirip Delon Idol) memperhatikan dan mempersiapkan semuanya dengan baik. Ada perkataannya yang terngiang oleh saya sampai saat ini, “Ingat, kita bukan tour guide dan klien, kita teman dan saudara. Jadi saya akan mengatakan semua apa adanya”. Ya, satu pelajaran lagi, kejujuran adalah kunci.

Kami sudah mengetahui destinasi-destinasi yang akan dikunjungi lewat schedule yang sudah dibagikan. Berkat kemajuan zaman, mengulik destinasi tersebut semudah mengetik keypad handphone. Satu pesan yang Delon sampaikan pada kami juga adalah jangan terlalu sering menggunakan handphone karena akan mengurangi keseruan saat berkeliling di Negeri Gajah Putih ini. Betul saja, kami semua sangat menikmati satu per satu lokasi di sana. Mulai dari wisata alam, kuliner, hingga night market yang menjadi ciri khas orang Thailand. Yang saya perhatikan dari teman-teman adalah tidak ada yang berlebihan dalam berbelanja. Semua menghabiskan uang sakunya dengan cermat. Tidak ada istilah lapar mata dalam perjalanan ini. Bebas bukan berarti bablas, bukan?

Apa yang bisa menjadi bumbu penyedap dalam sebuah perjalanan? Games. Panitia menyiapkan dengan baik serangkaian game yang punya makna mendalam. Mulai dari kuis yang mengadu pengetahuan, game yang menguji kebijaksanaan membelanjakan barang, olahraga santai yang mengutamakan kerja sama tim, dan tentu saja hadiah yang menarik menanti untuk para pemenang. Game di sini tak selalu berarti kompetisi, tapi bagaimana tiap kelompok bersatu menyamakan visi. Satu kelompok yang berisi beberapa orang, yang tentu saja bukan “teman geng”. Kedewasaan sangat mencolok di segmen ketawa-ketiwi ini, bagaimana kita (seharusnya) bisa sedikit menurunkan ego demi kepentingan bersama.

Ah, seperti tak ada habisnya cerita. Rangkaian acara dan destinasi membuat kami sadar, dunia itu luas. Kami bertemu orang-orang dari berbagai negara dengan kebiasaanya masing-masing. Tentu saja kami membawa “kebiasaan” kami di sana, tumpuk di tengah setelah selesai makan. Ada satu momen yang sukses membuat kami bangga saat seorang pramusaji melihat ke arah meja dan mengacungkan jempolnya pada kami. Delon dengan sigap menanyakan kenapa dan sambil tersenyum pramusaji tersebut mengatakan terkejut melihat sekumpulan orang-orang asing merapikan piring di meja yang tentu saja akan memudahkan pekerjaannya karena bisa diambil dalam satu tarikan. “Kop khun kha …”, ujarnya sambil tersenyum manis.
Kebaikan, walau terlihat remeh, bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Tentu, sebuah senyuman manis tersebut bisa seolah mengajak kita untuk terus melakukan kebaikan yang lebih besar dan lebih banyak. Ah, senangnya!

Lagi-lagi, sebuah kebiasaan kantor membuka pagi terakhir di Bangkok, sharing. Di sini semuanya saling berbicara, memberikan masukan terutama untuk para atasan, Edward Suhadi, Billy Yuriko, dan Francy. Suasana penuh haru mewarnai agenda pagi itu. Apa yang mungkin tidak semua kantor miliki adalah, keterbukaan satu sama lain. Mendadak saya teringat dengan salah satu cuitan Edward di akun twitternya dulu, “hargai orang di depan orang lain, tegur secara personal”. Bisa saling mengutarakan pendapatnya masing-masing, buat saya adalah kebiasaan super sehat yang harus dimiliki sebuah perusahaan, kantor, grup, atau apapun itu. Kantor bukanlah sebuah manusia dan komputer. Manusia memerintah komputer dan sebaliknya, komputer tidak mempunyai “hak” protes saat temperaturnya makin panas, kotor berdebu, atau hard disk yang mengalami bad sectors. Intinya, semuanya merasa dan saling menghargai satu sama lain.

Kembali ke tanah air, tentu ada rasa kehilangan. Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Kami akan selalu merindukan momen-momen berharga selama di Thailand. Banyak pelajaran yang bisa dipetik walau di sebuah kegiatan yang bertema hura-hura.

Ini adalah secuil cerita dari Ceritera, my workplace.